GBPH Prabukusumo (koni-sleman.blogspot.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Gugatan atas sejumlah pasal dalam Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY yang diajukan oleh seorang pengacara di Jawa Timur, Muhammad Sholeh ke Mahkamah Konstitusi (MK) tak ayal membuat kerabat keraton Yogyakarta turut bersuara.
Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo yang merupakan adik Raja Yogyakarta, Sri Sultan HB X, saat dihubungi kabarkota.com, Minggu (5/6/2016), menduga, pemohon uji materiil atas UU tersebut tidak benar-benar memahami berbagai sejarah yang mendasari pemberian status keistimewaan bagi Yogyakarta .
Gusti Prabu menjelaskan, Ketika Batavia lumpuh karena serbuan tentara Belanda, pada 9 Januari 1946 silam, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX menyatakan bahwa Ibu Kota RI pindah ke Yogyakarta, dengan segala konsekuensinya.
“Jadilah pemerintahan sementara dibangun di DIY. TNI/Polri dan Departemen-departemen, serta instansi- instansi Pemerintah RI didirikan di DIY Semua itu atas prakarsa Sri Sultan HB IX dan Dibiayai oleh Keraton Yogyakarta, sembari mempersiapkan dann merenovasi calin-calin kantor pemerintah di Jakarta. Dan Baru tahun 1949 semua pindah ke Jakarta. Itu setelah merdeka,” tegasnya.
Selain itu, lanjut Gusti Prabu, sebelum masa kemerdekaan, Sri Sultan HB IX yang juga ayahandanya itu telah banyak membantu para gerilyawan di Jawa, Sumatera, Bali, dan Madura.
Karena itu, Gusti Prabu merasa yakin bahwa nantinya putusan MK atas gugatan itu tetap akan mengacu kepada paugeran atau adat istadat tradisi budaya di keraton Yogyakarta. “Semoga mereka di MK benar-benar memutuskan dengan pikiran, niat, dan hati yang mulia,” harapnya.
Sebelumnya, melalui laman Mahkamah Konstitusi, Kamis (19/5/2016), Muhammad Sholeh, seorang warga Jawa Timur mengaku berkeberatan dengan aturan mengenai persyaratan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta, dengan mengajukan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 42/PUU-XIV/2016 yang digelar MK pada 17 Mei 2016 lalu, Sholeh selaku pemohon uji materiil merasa dirugikan oleh berlakunya ketentuan-ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf c, Pasal 18 ayat (2) huruf b, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,Pasal 28 ayat (5) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf I, huruf j, huruf k UU Keistimewaan DIY yang mengatur mengenai pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, persyaratan calon gubernur dan calon wakil gubernur, tata cara pengajuan calon, serta verifikasi dan penetapan gubernur dan wagub.
Selain itu, ia juga menyebut bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf c UUK DIY yang mensyaratkan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur Daerah lstimewa Yogyakarta harus bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur adalah tidak demokratis, sebab menghalangi hak warga negara untuk dipilih sebagai Gubernur maupun Wakil Gubernur di DIY.
Selain itu, pemohon juga menganggap, Tahta Sultan dan Adipati Paku Alam yang seumur hidup itu sama saja dengan memberikan jabatan gubernur dan wakil gubernur daerah lstimewa Yogyakarta seumur hidup sehingga cenderung tidak bisa dikontrol oleh siapapun.
Untuk itu pemohon meminta agar MK menyatakan ketentuan-ketentuan yang diujikan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (Rep-03/Ed-03)