Penghageng Tepas Panitikismo Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat, KGPH Hadiwinoto (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Undang-Undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) memberikan hak milik atas tanah kepada Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, yang tak diatur dalam Undang-Undang lainnya.
Menurut Penghageng Tepas Panitikismo Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, dengan status badan hukum kebudayaan, maka tanah keprabon maupun tanah dede keprabon yang ada di DIY diinventarisir dan didaftarkan menjadi hak milik Kasultanan dan Kadipaten, dalam bentuk sertifikat tanah atas nama Sultan Ground (SG) dan Paku Alam Ground (PAG).
Untuk pelaksanaannya, diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta (Perdais) No 1 Tahun 2017, dan Perdais No 2 Tahun 2017, beserta turunannya. Diantaranya, Peraturan Gubernur (Pergub) DIY No 33 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten; Pergub DIY No 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa; serta Pergub DIY No. 49 Tahun 2018 tentang Prosedur Permohonan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Kadipaten.
“Khusus untuk tanah yang diatur dalam Pergub No 33 Tahun 2017 yang untuk masyarakat umum atau lembaga pemerintah atau swasta itu diberikan selain kekancingan yang sifatnya tradisional, juga pemberian hak pakai atau Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah Kasultanan atau Kadipaten,” jelas Pria yang akrab disapa Gusti Hadi ini kepada kabarkota.com, di kantor Pratjimosono Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, pada 5 Agustus 2019.
Pasal 1 ayat 3 Pergub DIY No 33 Tahun 2017 menyebutkan, serat kekancingan adalah surat keputusan tentang pemberian hak atas tanah dari Kasultanan atau Kadipaten kepada masyarakat/institusi yang diberikan dalam jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang/diperbarui.
“HGB itu dikeluarkan oleh BPN, kalau kekancingan itu dikeluarkan oleh Keraton,” tegasnya.
Perbedaan lainnya, kata Gusti Hadi, serat kekancingan tak bisa digunakan untuk agunan bank, sementara HGB bisa digunakan sebagai jaminan pinjaman di Bank. Bahkan, HGB bisa dipindah-tangankan atau diperjual-belikan atas sepengetahuan pihak Kasultanan/Kadipaten.
Lebih lanjut Pihaknya mengaku, hingga saat ini baru sekitar 2.000 sertifikat tanah SG yang diterima pihak keraton. Namun demikian, proses sertifikasi hingga saat ini masih berlangsung.
Sedangkan tanah-tanah yang telah menjadi hak milik individu ataupun tanah desa sebelum lahirnya UUK DIY, adik kandung Sri Sultan Hamengku Buwono X ini mengungkapkan, itu karena sejak berdirinya Keraton di Yogyakarta, banyak “kawula dalem” yang ikut Pangeran Mangkubumi diberi tanah untuk hidup dan garapan di desa. Lama-lama karena desa sudah makin berkembang, lalu dimunculkan hak atas tanah tersebut, termasuk adanya tanah desa untuk menggaji para pamong desa setempat.
Dulu, jelas Gusti Hadi, yang mengurusi semua itu adalah pamong desa sehingga di desa ada yang namanya legger atau gambar peta tanah desa yang administrasinya dicatat oleh carik desa. Di legger itu kalau masih murni milik Kasultanan, belum pernah diberikan hak kepada siapapun maka di sana ditulis SG. Jika itu untuk desa, maka ditulis Desa atau D, dan untuk warga ditulis nama warganya.
Kemudian, terbit Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) yang pada intinya Negara melalui BPN bisa memberikan hak milik atas tanah kepada tiap-tiap Warga Negara Indonesia, selama yang bersangkutan bisa memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tersebut.
Namun Gusti Hadi berdalih, dengan disahkannya UUK DIY, maka implementasi UU PA dan UUK DIY bisa saling melengkapi.
“Makanya, inventarisasi tanah SG di desa tetap berjalan dan dilampiri dengan copyan data desa (legger) itu,” ucapnya.
Ketika nantinya proses inventarisasi tersebut tuntas, maka pihaknya berharap, data-data yang ada di desa dengan data di Kabupaten/Kota, Dinas Pertanahan dan Tata Ruang, BPN, Kasultanan, dan Kadipaten itu bisa sama.
Sementara ditanya terkait rencana pemanfaatan tanah SG ke depan, Gusti Hadi menyatakan, itu tergantung pada tata ruang yang diatur di masing-masing kabupaten/kota.
“Kalau tata ruangnya untuk jalur hijau ya tidak bisa (dimanfaatkan tanahnya),” tegasnya. (Rep-01)