Wadas Ditambang, Kekayaan Warga Bernilai Miliaran Rupiah Terancam Hilang

Konferensi pers Gempadewa di kantor LBH Yogyakarta, pada 2 November 2022 (dok. istimewa)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Sudah kesekian kalinya, warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah (Jateng) mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta untuk mengadukan nasib mereka terkait rencana pertambangan batu andesit di wilayah mereka yang meresahkan sebagian warga desa. Pun termasuk pada Rabu Siang, 2 November 2022.

Bacaan Lainnya

Bukan tanpa alasan, Warga Wadas ini tetap konsisten melanjutkan perjuangan melawan rencana pemerintah yang akan menggusur lahan mereka untuk pertambangan batu andesit sebagai pendukung proyek strategis nasional, yakni pembangunan Bendungan Bener. Padahal, selama ini, Desa Wadas memiliki tanah yang subur dan produktif.

Kesuburan tanah Wadas ditunjukkan dengan hasil produksi tanaman pangan yang terbilang melimpah. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, bahwa di Kecamatan Bener termasuk didalamnya Desa Wadas, pada tahun 2021 mampu memproduksi tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman rempah. Diantaranya, labu siam (300 kwintal); durian (8.353 kwintal); dan temulawak (60 ribu kg). Di samping itu juga ada hasil bumi berupa petai (5.548 kwintal), dan melinjo (2.748 kwintal).

Sana, salah satu aktivis dari Solidaritas Perempuan Wadas Sana (Solidaritas Perempuan Wadas) memperkirakan, dampak yang akan terjadi akibat pertambangan di Desa Wadas akan menghilangkan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) tersebut.

“Hasil evaluasi kami, perempuan di Desa Wadas, rata-rata penghasilan per tahunnya bisa mencapai Rp 75 juta,” ungkap Sana dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal media sosial, LBH Yogyakarta, 2 November 2022.

Bahkan pihaknya memprediksi, dalam 50 tahun ke depan, kekayaan warga Wadas dari hasil SDA bisa mencapai hampir Rp 40 Triliun, jika tidak ada pertambangan.

“Kita bisa bayangkan berapa kerugiannya jika ada pertambangan di sana,” tegas Sana.

Sementara, lanjut dia, ganti rugi yang diberikan pemerintah jika dihitung berdasarkan nilai ekonomi tanah, besarannya antara Rp 2 Miliar – Rp 8 Miliar. Namun, jika jumlah tersebut dikurangi dengan skema leasing yang mendorong mereka untuk berbelanja dengan orientasi lifestyle, maka dalam waktu lima tahun kemungkinan sudah habis.

“Pemberian ganti rugi itu, tidak diperhitungkan kerugian akibat kehilangan mata pencaharian, melainkan hanya dihitung dari nilai ekonomi tanah,” sesal Sana.

Lebih lanjut pihaknya juga berpendapat bahwa dampak pertambangan itu nantinya juga terkait aspek politik bagi perempuan. Politik dalam hal ini dimaknai sebagai cara perempuan mengambil keputusan terkait dirinya, ekonomi keluarga, dan budaya mengelola SDA yang ada di sekitarnya yang bukan untuk eksploitasi.

“Belum lagi melihat potensi rawan bencana karena posisinya di pegunungan,” sambungnya.

Berdasarkan data BPS Kabupaten Purworejo (2022), Desa Wadas adalah satu dari 28 desa yang berada di wilayah Kecamatan Bener, dengan luas area sekitar 4.05 km persegi atau 4.32 persen dari total luas Kecamatan tersebut. Dengan luasan tersebut, Desa Bener terbagi atas 4 RW dan 11 RT, dengan jumlah penduduk 1.519 jiwa. Area yang berbentuk perbukitan menjadikan Desa Wadas termasuk Kawasan Rawan Bencana terutama tanah longsor. Misalnya di tahun 2021, tercatat sedikitnya ada tiga kejadian tanah longsor di sana.

Gempadewa Ajukan Gugatan ke PTUN Jakarta

Sementara Warga Wadas yang tergabung dalam Gempadewa kembali mengajukan gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta, setelah sebelumnya pernah mengajukan gugatan yang sama di PTUN Semarang namun tidak membuahkan hasil.

Siswanto, salah pemuda dari Desa Wadas berharap, PTUN Jakarta akan mengabulkan keinginan mereka agar Desa Wadas tetap utuh, tanpa pertambangan.

“Sejak tahun 2017 sampai sekarang, kami terus berusaha mempertahankan ruang hidup kami,” ucapnya.

Hal senada juga disampaikan salah seorang sesepuh Desa Wadas, Marsono yang menganggap, rencana pemerintah untuk menambang di desanya telah mengancam kerusakan ruang hidup warga.

“Katanya negara mau menyejahterakan masyarakat. Tapi sampai detik ini, negara terus berusaha merusak ruang hidup dan merampas ruang hidup kami yang ada di desa wadas. Itu namanya tidak benar,” tuturnya. (Rep-01)

Pos terkait