Warga Gumuk Pasir Parangkusumo, Bantul Tolak Penggusuran

Salah satu bangunan yang terancam tergusur di Parangkusumo, Bantul (Anisatul Umah/kabarkota.com)

BANTUL (kabarkota.com) – Warga Dusun Parangkusumo, Kecamatan Kretek, Bantul, bernama Kawit menceritakan Rabu, 31 Agustus 2016 dirinya dan warga mendapatkan surat perihal penertiban di kawasan gumuk pasir. Ia dan warga lain dianggap menempati kawasan konservasi Gumuk Pasir, yang harus dilindungi.Kawit menyatakan bersama warga lain akan menolak penggusuran.

“Warga itu tetap menolak kalau digusur, apalagi nggusurnya dalam surat nggak dikasi ganti apa-apa,” ujaranya (5/9/2016).

Bacaan Lainnya

Surat yang warga terima, tambah Kawit, diantar oleh Satpol PP Bantul serta aparat polisi dan tentara.  Perihal sikap dari pemerintah Kabupaten Bantul dalam perkara ini, sama sekali belum pernah mengadakan dialog dengan warga Gumuk.

“Kabupaten belum pernah mengadakan pertemuan dari warga terdampak,” terangnya.

Berdasarkan surat yang ia dapatkan tertanggal 29 Agustus 2016, tertulis atas nama Bupati Bantul, Nomor: 523/03700 tentang Pemberitahuan Penertiban yang meliputi : penutupan tambak, pembongkaran bangunan dan penebangan pohon, maka ia dan warga lain harus meninggalkan lahan dan rumah  selambat-lambatnya pada 1 September 2016.

Surat tersebut berdasarkan keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Nomor: 180/3557, tertanggal 12 April 2016 perihal Penanganan Gumuk Pasir di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul dan surat K.H.P Wahono Sartokriyo Kraton Ngayogyakarta Nomor: 120/W dan K/VII/2016 tertanggal 27 Juli 2016, perihal Penertiban Zona Gumuk Pasir.

Sultan Ground (SG) ataupun Pakualaman Ground (PAG) sudah dihapus jika kita merujuk pada UUPA Diktum IV, Keppres Nomor 33 tahun 1984, dan Perda DIY Nomor 3 Tahun 1984.

“Menurut saya SG itu pengeklaiman tanah Gumuk, lalu disetujui UGM untuk mengembalikan gumuk pasir menjadi seperti semula,” ceritanya.

Kawit menceritakan penggusuran urung dilakukan karena warga berjaga di lokasi.
Ada 34 rumah yang terancam tergusur di lokasi seluas 141 hektar.

“Ya akan tetap bertahan, kalau digusur paksa, ya bikin tenda lagi. Mau pindah ke mana wong belum dikasi tempat dan belum diajak rembugan, ” jelasnya.

Pakar hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Sugiarto, yang ikut membantu dalam advokasi warga menjelaskan hukum ketatanegaraan harus ada aturan pelaksana berupa Perda. Sejauh ini, menurutnya UU keistimewaan belum ada Perdanya sehingga surat perintah belum bisa dilaksanakan.

“Hukum ketatanegaraan itu harus ada aturan pelaksana. Nah sejauh itu belum ada,” ungkap Sugiarto.

Ia menambahakan penggusuran ini merugikan masyarakat dan justru menguntungkan investor.

“Yang mengelola itu bukan masyarakat lagi, tapi investor. Ini kan sudah jelas kepentingan siapa. Apakah kepentingan Sultan untuk masyarakat atau investor dilihat dari tata guna dan tata kelola,” pungkasnya. (Rep-04/Ed-01 )

Pos terkait