Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Ketidaknetralan Presiden, Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilu 2024, khususnya Pilpres terlihat jelas semenjak putra sulungnya, Gibrang Rakabuming Raka digandeng sebagai Cawapres mendampingi Capres no urut 2, Prabowo Subianto.
Inkonsistensi pernyataan Presiden Jokowi di beberapa ke sempatan dari waktu ke waktu juga mengundang sorotan sekaligus keresahan, khususnya di kalangan akademisi dari berbagai daerah, tak terkecuali di Yogyakarta.
Kampus-kampus di Yogyakarta pun bergerak menyatakan sikap dan mendesak Presiden Jokowi serta para penyelenggara negara agar kembali netral, menjelang hari pencoblosan 14 Februari 2024.
Dimulai dari sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengeluarkan Petisi Bulaksumur, pada 31 Januari 2024. Dalam petisinya, mereka menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi di masa pemerintahan Presiden Jokowi yang juga bagian dari keluarga besar UGM.
“Alih-alih mengamalkan dharma bhakti almamaternya dengan menjunjung tinggi Pancasila dan berjuang mewujudkan nilai-nilai di dalamnya, tindakan Presiden Jokowi justru menunjukkan bentuk-bentuk penyimpangan pada prinsip-prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial yang merupakan esensi dari nilai-nilai Pancasila,” ucap salah satu Guru Besar UGM, Koentjoro yang membacakan petisi tersebut.
Sehari kemudian, disusul Universitas Islam Indonesia (UII) yang mempersoalkan tentang gejala ketidaknetralan institusi kepresidenan dengan membolehkan Presiden berkampanye dan berpihak. Selai itu juga menyoroti tentang distribusi Bantuan Sosial (Bansos) melalui pembagian beras dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) oleh Presiden Joko Widodo yang ditengarai sarat dengan nuansa politik praktis dengan diarahkan pada personalisasi penguatan dukungan terhadap Paslon tertentu.
“Mobilisasi aparatur negara untuk kepentingan dukungan terhadap pasangan calon tertentu adalah tindakan melanggar hukum sekaligus melanggar konstitusi,” tegas Rektor UII, Fathul Wahid dalam siaran persnya, pada 1 Februari 2024.
Selanjutnya, pada 3 Februari, sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) juga menyampaikan pernyataan sikap. Dalam hal ini, Dewan Guru Besar UMY mendesak Presiden menjalankan kewajiban konstitusionalnya dalam Pemilu 2024. Sebab, mereka menganggap, Presiden Jokowi sebagai penyelenggara negara telah melanggar konstitusi yang serius atas penyalahgunaan fasilitas negara dengan kewenangan yang dimilikinya.
“Kami juga menuntut para penyelenggara negara serta aparat hukum seperti polisi dan kejaksaan bersikap netral dalam kontestasi Pemilu 2024. Termasuk juga kepada lembaga peradilan yang harus mengedepankan independensi dan imparsial dalam menangani berbagai sengketa serta pelanggaran selama proses Pemilu 2024 agar terlaksana secara jujur dan adil,” pinta Akif Khilmiyah saat membacakan pernyataan sikap sivitas akademika UMY.
Kemudian pada 5 Februari atau Hari Senin ini, sejumlah kampus juga menyampaikan pernyataan sikap terbuka. Di antaranya, Universitas Janabadra (UJB). Melalui “Deklarasi Kebangsaan”, Keluarga Besar Sivitas Akademika UJB mendesak penghentian segala macam intervensi kekuasaan dan pengunaan fasilitas negara dalam kontestasi pemilu 2024.
“Kami mendesak Presiden agar memerintahkan dan menindak tegas aparat Sipil Negara, Aparat Penegak Hukum, lembaga peradilan yang bersikap memihak,menguntungkan maupun merugikan pasangan calon tertentu,” tegas mereka melalui siaran pers, pada Senin (5/1/2024).
Sivitas Akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta tak mau ketinggalan. Dengan Seruan Moral Kalijaga, para sivitas akademika mendesak Presiden Jokowi sebagai kepala negara menjadi teladan etik bagi semua aparat di bawahnya dalam menjaga netralitas dan menjamin proses politik yang sedang berlangsung secara demokratis, tanpa kekerasan guna mewujudkan pemilu yang langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
“Kami mengingatkan semua pihak untuk bersama-sama menguatkan pakta integritas, menjunjung tinggi spirit konstitusi dan praktik politik yang menguatkan nilai-nilai demokrasi, menjaga kepercayaan publik pada lembaga negara, sistem politik dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan,” kata Koordinator, Achmad Uzair dalam pernyataan tertulisnya.
Kritis dan seruan terhadap netralitas Jokowi dan para penyelenggara negara tak hanya datang dari sivitas akademika, melainkan dari organisasi profesi dan elemen masyarakat sipil lainnya. Di antaranya, Forum 2045 yang menyerukan desakan Tobat Etika dan Moral, pada 3 Februari 2024.
“Kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk bersama- sama menjadi saksi atas seluruh proses politik yang berlangsung, dan tidak tinggal diam atas segala kerusakan yang terjadi. Kita percaya rakyat yang telah tercerahkan akan menjadi bagian utama dari langkah bangsa menghentikan segala langkah politik yang merusak sendi-sendi etika dan moral bangsa,” ucap anggota Forum 2045, Heru Kurnianto Tjahjono saat membacakan seruan tersebut, di Kampus UII Cik Ditiro Yogyakarta .
Menurutnya, kekuatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, maka tobat etika dan moral, merupakan jalan utama bangsa untuk melakukan perbaikan yang mendasar dan menyeluruh di semua lini kehidupan.
Perempuan Nahdliyin DIY juga melakukan gerakan serupa dengan dimotori salah satunya oleh Wasingatu Zakiyah yang mengecam segala bentuk politik transaksional untuk melanggengkan kekuasaan, karena hal tersebut bukan bagian dari politik yang beretika.
“Kami, Perempuan Nahdliyin DIY ingin memilih berdasarkan integritas dengan melihat rekam jejak, bukan karena sami’na wa atho’na atau ketaatan kepada perorangan, melainkan pada nilai-nilai,” kata Zaki di kantor KONI DIY, 3 Februari 2024. (Rep-01).